28 Maret 2011

Orang Tua dan Bangku Kereta,,,

2 Oktober 2010....
Pukul 03.00 WIB....

"Mijon, mijon, mijon..........."

Sayup-sayup aku mendengar suara pedagang asongan menjajakan dagangannya. Dengan sedikit malas aku mencoba membuka kelopak mataku yang terasa begitu berat karena baru saja tidur 3 jam yang lalu. Ow, di kereta eksekutif ternyata pedagang asongan juga boleh masuk toh, bathinku. Aku menggeliatkan tubuhku sejenak, mencoba tuk meregangkan otot-otot tubuhku yang terasa pegal karena telah duduk di kursi yang sama sejak pukul 21.00 WIB yang lalu, ketika kereta ini mulai berangkat dari Stasiun Gambir, Jakarta. Aku memperkirakan tidak beberapa lama lagi kami akan segera sampai di Stasiun Tugu, Yogyakarta.

Aku kembali memperhatikan pedagang asongan yang menjajakan dagangannya. Ada raut sendu dengan mata yang memerah yang ku tangkap dari para pedagang asongan ini. Aku jadi bertanya pada diriku sendiri apakah mereka selalu berdagang sampai dini hari seperti ini?? Apakah raut sendu dengan mata yang memerah itu petanda mereka sangat lelah karena kurang istirahat?? Aku saja masih sempat terlelap selama perjalanan ini walau hanya beberapa jam, apakah mereka tidak??

Ah, hidup ini kadang memang tak adil!! Sebagian hidup senang, sebagian hidup susah. Tapi mungkin itulah cara Alloh SWT menguji ketaqwaan hamba-Nya dengan tingkatan yang berbeda-beda, bisik jiwaku.

Kereta mulai melanjutkan perjalanan. Sebenarnya aku ingin bertanya kereta ini telah sampai dimana dan berapa jam lagi menuju Yogyakarta. Maklum, ini perjalanan pertama Jakarta - Yogyakarta yang aku tempuh melalui jalur darat. Biasanya aku menggunakan pesawat yang belum sempat aku terlelap, pesawat keburu mendarat, terlalu cepat. Tapi aku tak menemukan tempat bertanya, sepertinya semua orang di gerbong kereta ini sedang asyik dibuai mimpi.

Hei, benarkah semuanya sedang asyik dibuai mimpi?? Atau aku hanya terbawa-bawa dalam anggapan umum kebayakan orang yang berkata kalau tidur nyenyak itu karena dibuai mimpi, seperti kebayakan wanita yang berkata kalau pria susah dipercaya, protes akal lurusku.

Benarkah semua anggapan umum itu?? Janganlah hanya karena beberapa hal (kecil) kita langsung mengeneralisir. Bukankah itu salah satu bentuk pendzoliman?? Meski ada pepatah gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga, tapi apakah kita akan selalu befokus pada titik hitam pada sebuah kertas putih dan menganggap kertas tersebut telah benar-benar ternoda?? Padahal jika kita mau sedikit saja berpikir maju dan melebarkan pandangan, memperluas pemikiran kita, maka sebenarnya mungkin saja kita bisa mensterilisasi sebelanga susu dari setitik nila atau membersihkan kertas putih dari setitik hitam yang kecil. Bukankah sayang jika tanpa berusaha terlebih dahulu kita “dipaksa” membuang sebelanga susu yang kini harganya semakin melangit dan menghambur-hamburkan kertas dari pepohonan hutan yang kini hampir habis dirambah cecukong tengik?? Ah, aku jadi bingung sendiri.

Aku melebarkan pandangan ke seluruh penjuru gerbong, semuanya tidur. Uh, aku butuh teman bicara! Sejenak aku berpikir gila tuk mengajak benda-benda mati di sekelilingku tuk bicara. Karena aku sungguh-sungguh tak suka diam dalam kesunyian, aku sangat-sangat tak suka hampa dalam kesepian.

“Hei bangku, apakah kau tak merasa lelah dan terbebani karena harus memangkuku sejak 6 jam yang lalu??”, tanyaku tuk memulai kegilaanku.

“Sungguh aku akan sangat merasa malu kepada orang tuamu jika aku sedikit saja merasa lelah dan terbebani olehmu”.

Jreng, jreng, jreng,,, Seketika itu juga aku terperanjat kaget. Siapa gerangan yang menjawab pertanyaanku itu?? Aku arahkan pandanganku ke seluruh gerbong, tapi semuanya masih tidur. Apakah aku berhalusinasi?? Hingga aku seakan-akan mendengar jawaban atas pertanyaanku. Atau jangan-jangan di gerbong ini ada “penunggunya” seperti di dalam film-film hantu yang banyak bergentayangan di negeri ini?? Sejenak aku sempat bergidik ngeri membayangkannya. Untung kesadaran dan keyakinanku kepada-Nya segera pulih. Ah, aku terlalu banyak menonton film hantu-hantu yang tak bermutu itu, bathinku.

“Hei, aku yang menjawabmu!!”, kata bangku yang ku duduki.

“Ah, tak mungkin. Tak mungkin kau bisa bicara! Kau kan benda mati,,”, kilahku.

“Hahahahaha.... Rupanya kau belum banyak belajar sobat! Mengapa kau menyangsikan berkah langka yang diberikan Sang Kholik kepadaku tuk bisa bicara?? Bukankan Dia Maha Berkuasa?? Maha Berkehendak?? Maka mudah bagi-Nya tuk melakukan segala hal. Bukankah cukup dengan Kun Fayakun saja?? Maka jadilah apapun yang Dia inginkan! Kau tau itu, tapi kau suka lupa”, terang bangku mengembalikan tingkat kesadaran tertinggiku akan Sang Penguasa Langit dan Bumi.

“Tadi mengapa kau bilang kau akan sangat malu kepada orang tuaku jika kau merasa lelah dan terbebani olehku?? Bukankah kau telah memangkuku sejak 6 jam yang lalu??”, tanyaku.

“Begini sobat,,”, jawab bangku memulai penjelasannya.
“Coba kau pikir berapa belas atau berapa puluh tahun orang tua membesarkan, menafkahi, dan menjagamu. Bukankah telah mereka lakukan itu sejak kau masih dalam kandungan?? Cobalah kau lihat betapa susahnya seorang ibu ketika mengandung, bersusah payah memanggul perutnya yang membesar kesana kemari. Kau saksikanlah pula seoarang ayah yang sibuk membanting tulang demi sang istri, demi buah hatinya, demi keluarganya. Tidakkah pernah kau menilai betapa mulianya orang tuamu atas “derita” yang kau timpakan kepada mereka??”

Aku terdiam...

“Tapi kau jangan sekali-kali memperlakukan orang tuamu seperti kami!”, sambung bangku.
“Terkadang, ketika kami bisa memberikan kenyamanan bagimu, kau malah terlena dan berbuat seenaknya. Tapi ketika kami belum mampu mendatangkan kenyamanan bagimu, kau malah memaki-maki kami, tak tau terima kasih. Ingatlah ibumu yang berhadapan dengan maut takkala melahirkanmu dulu. Begitu pula perjuangan yang tak mengenal lelah dari sosok ayahmu dalam menghidupi keluarga kalian. Cobalah kau pandang gurat wajah mereka yang mulai memudar, senyum manis yang kadangkala dipaksakan, dan kondisi tubuh yang tak sekuat dulu. Tapi mereka masih berusaha melakukan segala yang mereka bisa demi kebaikanmu.”

Hatiku gerimis...

“Mungkin akan kau rasakan kelak pahit getirnya hidup menjadi orang tua. Bukannya aku ingin menakutimu, tapi anak adalah amanah Alloh SWT yang jika tak kau didik dan kau perlakukan dengan benar mungkin saja akan menyeretmu ke neraka jahannam. Janganlah kau balas kemuliaan orang tuamu dengan tindakan yang tak baik. Bukankah berkata “ah” saja kepada mereka tidak diperbolehkan?? Kau tanya hatimu sobat, apakah kau permata hati bagi mereka?? Yang selalu mendatangkan kebahagian bagi mereka?? Atau sebenarnya kau tak lebih baik dari benalu dan seonggok sampah yang selalu menyusahkan dan mendatangkan hal-hal yang tak baik bagi mereka!! Mohon ampunlah kau kepada Alloh SWT dan bersimpuhlah di kaki ayah ibumu, memohon maaf karena telah menyusahkan mereka selama ini. Janganlah kalian menjadi anak durhaka, yang kelak tersiksa perih oleh api neraka...”, papar sang bangku.

= = = = = * = = = = =

Pukul 05.00 WIB,,,

Aku baru saja menyelesaikan sholat subuh bersama rombongan setelah sampai di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Dalam doa yang berbalut air mata, aku memohon ampunan kepada Alloh SWT dan mendoakan semua yang terbaik bagi orang tuaku. Terasa sungguh berdosa diri ini karena mungkin pernah secara sengaja ataupun tidak membantah mereka, membuat mereka kecewa, dan dalam kesibukan aktivitas sehari-hari kadang aku terlupa pada mereka. Akupun langsung menghubungi mereka! Menanyakan kabar mereka, mengucapkan terima kasih atas pengorbanan mereka. Tak lupa pula aku memohon maaf andai selama ini aku belum bisa menjadi anak yang sholeh, anak yang seharusnya membawa keberkahan bagi mereka. Mereka sempat heran dan curiga karena telponku! Mereka bertanya apakah aku baik-baik saja, karena mereka melihat ada berita kecelakaan kereta yang merenggut puluhan nyawa di Pemalang, Jawa Tengah. Tentu aku menjawab bahwa aku baik-baik saja. Rasanya tak mungkin jika aku harus bercerita tentang nasihat yang ku dapat dari bangku kereta tadi. Bisa-bisa aku disangka gila! Lagipula aku juga tak mau mereka tau bahwa sesungguhnya ada air mata yang terus saja mengalir di wajahku. Aku takut mereka akan merasa lebih bersedih ketika mereka tau kalau aku menangis....