01 Maret 2012

Rindu (yang) Tak Berbentuk

Detak jam yang bergelayut erat di tanganku terasa kian mencekik nadi. Denyut yang dihasilkannya mengalahkan kegelagapanku menghadapi waktu. Terhitung belasan menit sudah aku berdiri gelisah di halte ini. Namun taksi yang aku tunggu belum juga menampakkan keramahan akan kebutuhanku.

"Sedikit banget sih taksi yang lewat!" gerutuku.

Sekali lagi aku menatap lekat pada jam tanganku. Aku berharap putaran jarum jam berhenti. Aku seolah-olah kehabisan waktu dan kesabaran saat menunggu taksi kali ini. Anehnya taksi yang biasa mangkal di depan toko kelontong pagi ini juga tak tampak. Yang lewat tidak ada pula yang kosong.

"Masa harus naik metro mini sih!" gumamku tak bersuara.

Apa boleh buat, aku terpaksa mengalah pada keadaan. Mau tak  mau aku harus mengalahkan rasa jijikku pada angkutan umum yang banyak tak layak jalan itu. Mobil yang karatan, tempat duduk plastik, supir yang ugal-ugalan, dipenuhi asap dan berteman debu. Belum lagi harus berdiri jikalau tempat duduknya penuh dan potensi kecopetan jika tak berhati-hati. Tapi apa boleh buat, aku tak punya pilihan lain jika tak ingin ketinggalan penerbangan.

"Blok M, Blok M, Blok M...." kondektur metro mini berteriak keras penuh semangat.

Aku dan segerombolan makhluk tuhan berakal lainnya beradu cepat menaiki bis, bersaing mencari tempat duduk. Untungnya bis kali ini tidak terlalu padat, semua penumpang kebagian tempat duduk.

"Mama gue gak pengertian banget sih! Masa gue minta beliin motor kagak dikabulin. Kagak kasian apa ngeliat gue, anak kesayangannya ini yang harus naik angkutan umum terus kayak gini." Tiba-tiba suara pelajar berbaju putih abu-abu yang duduk di bangku belakang mengusik telingaku.

"Lah elu mending. Nah gue uang jajannya aja dibatasin, dikit banget. Mana cukup buat makan-makan di kantin sekolahan. Gimana gue mo kongkow-kongkow di luar coba! Kadang kan gue malu juga sama temen-temen yang lain!" timpal teman disebelahnya.

"Elu-elu semua gak separah gue deh! Masa gue mo maen keluar rumah aja susahnya minta ampun. Harus selalu izin lah, pake jam malam lah. Kita kan udah gede! Bukan anak cewek yang harus diatur-atur seketat itu." kata temannya yang lain, tak mau kalah.

Heran! Ya aku heran. Tapi bukan pada gerombolan anak SMA itu. Menemukan anak-anak yang tak tahu diri seperti mereka itu bukanlah hal baru, semakin banyak berseliweran akhir-akhir ini. Yang membuatku heran adalah isak tangis tertahan dari siswi SD disebelahku. Tentu saja aku terkejut melihat dia tiba-tiba menangis, jangan-jangan dia menangis karena aku.

"Kamu kenapa menangis dik?" tanyaku.

"Itu, itu... Gara-gara kakak-kakak itu!" jawabnya terbata-bata.

"Loh, mereka ngapain kamu?" tanyaku heran. Setahuku mereka tidak melakukan apapun pada gadis mungil di sampingku ini.
"Itu kak... Mereka, mereka... mengeluarkan kata-kata yang membuatku sedih."

"Emang mereka ngatain kamu?"

"Gak kak... Tapi, tapi... kata-kata mereka tentang Mamanya membuatku sedih."

Astaghfirullahal'adzim. Yang diucapkan anak kecil ini sungguh menohok bathin terdalamku. Aku yang sudah dewasa mulai membiasakan diri dan tak ambil pusing dengan lingkungan sekitarku. Ya, Jakarta seolah mengubah prinsipku menjadi "Elu ya elu, gue ya urusan gue". Tapi anak ini menyentuh kesadaranku akan kepedulian terhadap keadaan sekelilingku.

"Aku inget mama Kak!" ucap gadis kecil itu sesegukan disela tangisnya.

"Memang mamamu kemana dik? Meninggal?" tanyaku haru.

"Gak tahu kak. Aku gak tahu mamaku masih hidup atau gak. Kata pengasuh di panti asuhan aku ditinggal sejak lahir. Aku gak tau mamaku kemana kak...." jelasnya dengan tangisan yang semakin deras.

Aku terdiam seribu bahasa. Aku tak tahu harus berkata apa untuk meredakan kesedihannya. Aku kehabisan kata-kata.

"Aku ingin tahu mamaku dimana kak. Aku ingin ketemu mama. Andaipun mama udah meninggal, bertemu nisannya pun gak apa-apa biar aku lega dari rasa penasaranku kak. Aku rindu mama, aku sayang mama meski mama tega meninggalkan aku."

Sungguh aku begitu terenyuh dengan kata-kata anak ini. Hatinya sangat mulia. Kerinduan dan sayangnya begitu nyata meski dia tak mengetahui seperti apa orang yang bersusah payah mengandung dan melahirkannya. Sementara aku, rindu dan sayangku, rindu dan sayang anak-anak SMA tadi rasanya tak sesempurna itu. Padahal kondisnya sangat berbeda, kami masih merasakan kasih sayang yang penuh dari Bunda setelah kami dilahirkan. Bunda yang menyusui dan membesarkan kami. Bunda yang bersabar menghadapi berbagai macam ulah tingkah laku kami. Bunda yang jarang mengeluh ketika kami merengek meminta untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan kami yang kadang memberatkannya. Tapi sayangnya tak pernah lekang, tak hilang. Meski kadang pandangannya mulai sendu, berbalut air mata, tapi bunda tetap tegar dan teguh memperjuangkan kehidupan demi kita, anak-anaknya.

"Kamu tahu ini hari apa?" tanyaku.

"Tahu kak. Ini hari ibu kan?" jawabnya balik bertanya diantara sisa-sisa air mata yang mereda. " Kamu ingin merayakannya?"

"Tidak kak. Aku bukan orang yang gila perayaan. Begitu menggebu-gebu pada hari H tapi seakan mati pada hari lainnya. Bagiku mencintai ibu itu sepanjang usiaku. Takkan pernah cukup satu hari untuk menjabarkan luasnya rindu dan sayangku pada mama. Aku bukan orang yang gila perayaan kak."

Subhanallah. Memang begitu luar biasanya Allah SWT menghadirkan rangkaian pesan kebaikan. Bahkan rangkain itu aku dapatkan pula dari bocah ingusan berhati mulia. Kondisi tak terduga dari perjalanan metro mini yang tak pernah kusuka.

"Gimana kalau ternyata mamamu udah meninggal?"

"Aku ikhlas kak. Meski berat aku ikhlas. Itu ketentuan Tuhan kan kak? Aku tak mungkin melawan Tuhan kan kak?"

Aku ingat emakku nun jauh di tengah Sumatera sana. Lagu Ibu yang diiringi petikan gitar akustik Iwan Fals pun kemudian bersenandung haru dalam kalbu.

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah… penuh nanah
Seperti udara… kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas…ibu…ibu

Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas…ibu…ibu….

Mahar Cinta di Negeri Para Syuhada

“Tuhan, maafkan aku!! Aku ingin pulang...” bisikku sesegukan.

Betapa tidak, bom curah yang disusul misil dan hujan peluru ditumpahkan zionis ke tanah Gaza. Aku merasa bahwa aku tak seharusnya disini. Faiza, ya hanya demi dia aku disini, muslimah yang telah menyentuh imanku.


*** 
Tiga bulan yang lalu.

“Bagaimana ustadz, apakah Faiza menerima pinanganku??” tanyaku penuh harap.

“Dengan satu syarat Yad, kau harus menunjukkan kepedulianmu kepada agama kita... Itu mahar yang dia minta!!” terang sang murobbi.

“Kenapa tadz?? Apakah dia meragukan kesungguhanku??” lanjutku sedikit kecewa.


***
Sepekan waktu yang kuhabiskan untuk merenungi permintaan Faiza. Aku sempat hendak menyerah karena tak tau apa yang harus aku lakukan demi mahar itu. Hingga pada suatu subuh, setelah melaksanakan qiyamul lail, aku melihat berita di televisi bahwa akan ada pengiriman relawan medis ke Gaza, Palestina.


***
“Kau yakin Yad??” tanya sang murobbi saat aku meminta pendapat tentang rencanaku keesokan harinya.

“Insya Allah yakin Tadz!!” jawabku.

“Faiza wanita yang mulia. Dia berhak mendapatkan mahar itu!!” pungkasku meski sedikit ragu.


***
Tanpa terasa tiga pekan sudah waktu yang kunikmati di Gaza.

“Kau tak seharusnya melakukan itu... Disana berbahaya!!” begitulah kata Faiza yang disampaikannya melalui Ustadz Azmil setelah mengetahui keberadaanku di Gaza.

“Tolong sampaikan kepada Faiza Tadz, Gaza tak semanakutkan seperti yang kita bayangkan selama ini!! Apalagi sekarang sedang dalam perjanjian gencatan senjata..” balasku senang.

“Berarti Faiza peduli padaku...” bisik hatiku tersenyum puas.

Aku benar-benar menikmati waktuku disini. Hamas yang selama ini digambarkan ganas oleh zionis ternyata ramah, terlebih kepada relawan Indonesia.

“Indonesia telah membantu perjuangan kami. Setidaknya telah membantu sisi kesehatan kami!! Rumah sakit dan persediaan obat-obatan kami yang luluh lantak kini tergantikan oleh kehadiran kalian. Kami yakin, banyak saudara muslim kami di Indonesia yang ikut mendoakan kami!! Karena disini kami tak hanya memperjuangkan kemerdekan, tapi lebih dari itu kami memperjuangkan Islam, agama kita! Nahnu Ikhwan (kita semua saudara).” Demikian sedikit penjelasan yang aku terima dari Zufar saat aku mengobati kakinya yang terluka.


***
Malam ini adalah yang kedua kalinya aku diundang untuk menikmati hidangan makan malam di rumah Zufar. Makan malam yang tadinya penuh kehangatan mendadak riuh oleh bunyi ledakan yang bersahutan.

“Zionis menyerang!!” teriak Mursil tergopoh-gopoh kepada Zufar.

“Siagakan pasukan... Lindungi para wanita dan anak-anak!!” titah Zufar.

“Gunakan ini saat kau butuh!!” kata Zufar sambil menyerahkan sebuah senapan laras panjang dengan mesin peluru otomatis.

“Duuuuaaaarrrr!!!!” sebuah misil zionis menghantam tepat ke bagian depan rumah. Zulfar yang baru hendak melangkah keluar rumah terpental.

Aku meringkuk ringkih, diam tak bergerak dari posisiku. Tubuhku menggigil, yang nyatanya keluar hanya air mata ketakutan.

“Tuhan, maafkan aku!! Aku ingin pulang...” bisikku sesegukan.

“Ayo, kita tidak aman disini!!” teriak Zufar diantara bunyi desingan peluru yang datang membabi buta. Tak tampak raut trauma dari wajahnya dari kejadian sesaat yang lalu.

Mursil dan aku kemudian membantu Zufar berdiri dan berlari untuk bergabung dengan para pejuang lain di perbatasan Gaza. Inilah fakta yang selama ini tidak aku ketahui, ternyata Zufar adalah salah satu pimpinan pejuang Hamas. Luka yang siang itu diobatinya kepadaku pun ternyata luka karena terkena sabetan peluru. “Disini tak ada yang namanya benar-benar gencatan senjata. Kami harus tetap terjaga dan bergeriliya karena mereka (zionis) bisa menyerang sewaktu-waktu” katanya.


=====
“A blinding flash of white light,
lit up the sky over gaza tonight.
People running for cover,
not knowing wheter they’re dead or alive

They came with their tanks and their planes,
with ravanging fiery flames.
And nothing remains,
just a voice rising up in the smoky haze

We will not go down,
in the night, without a fight.
You can burn up our mosques and our homes and our schools,
but our spirit will never die.
We will not go down,
in Gaza tonight.”
=====


Lagu "We Will Not Go Down" kini menggema di dadaku. Inilah rupanya yang perjuangan yang dilantunkan oleh Michael Heart itu. Semangat yang seolah kini meresap ke tubuh, mengalir dalam nadi ke setiap persendian.

“Rachel Corrie pun mengorbankan dirinya untuk Gaza!!” gemuruh darahku.

Yang aku sadari kemudian adalah aku tak peduli lagi statusku sebagai relawan. Jual beli serangan terus menggema selama beberapa jam. Aku seakan larut dalam perjuangan!! Yang aku ingat namaku Ayyad, yang berarti dapat menguatkan atau kokoh. Dan senapan yang kupegang ini telah memuntahkan banyak pelurunya ke arah zionis.


***
Pertempuran mereda. Pasukan zionis mundur. Teriak kegembiraan dan rintih kesakitan para pejuang yang terkena tembakan musuh bercampur menjadi satu.

“Yad, Zufar terluka!!” teriak Mursil seolah mengembalikan kesadaranku.

“Yad, nikahi ‘akifah, istriku... Jagalah anak-anakku” pinta Zufar terbata-bata setelah aku datang menghampiri dan memangku erat badannya yang makin lemah, bersimbah darah.

“Tapi...”

“Syukron...” itulah kata-kata terakhir Zufar. Belum sempat aku membela diri atas permintaannya, dia telah menghembuskan nafas terakhir.

“Innalillahi wainnailaihiroji’un...” ucap kami yang disitu. Sebagian pejuang kemudian mengangkat dan membawa tubuh Zufar sambil melafadzkan takbir,”Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar...” Sebagian lainnya membopong korban luka lainnya.

Tinggallah aku disini sendiri, termenung bingung.

“ Faiza, aku kesini untuk menunaikan maharku atas halalnya dirimu... Tapi bagaimana dengan wasiat Saudaraku Zufar?? Apakah harus aku abaikan??” tangisku pecah di sela debu dan asap.