29 Maret 2013

Lelaki Terakhir


“Dan... Akdan... Ayo bangun!” kata sesosok lelaki tua sambil sedikit menggoyang-goyangkan tubuh seorang pemuda yang tampak tertidur pulas. “Kamu tidak malu sama ayam? Dari tadi ayam sudah berkokok bersahutan, bersiap mengais rezeki yang telah digariskan Tuhan untuk mereka hari ini.” lanjut lelaki itu membangunkan cucunya.

“Dan, sebentar lagi waktu subuh menjelang....” pungkas sang kakek melihat Akhdan yang belum juga membuka mata.

Akhdan menggeliat. Sambil sedikit mengucek-ucek mata yang malas terbuka dia memaksakan dirinya untuk bangkit, lalu duduk di pinggir tempat tidurnya. “Jam berapa sekarang Kek?” tanyanya.

“Jam 04.10. Ayo cepat mandi! 20 menit lagi sudah masuk waktu subuh.” suruh kakek.

“Mandinya nanti saja kek... Kita langsung ke surau aja.” Jawab Akhdan sambil menguap, menunjukkan rasa kantuk yang belum juga hilang. Sebenarnya Akhdan merasa malu dengan Kakeknya. Bagaimana tidak, sang Kakek yang sudah tua seolah tak pernah merasa kekurangan waktu istirahat. Buktinya sang kakek selalu rutin bangun di sepertiga malam untuk menjalankan qiyamullail dan masih menyempatkan diri menjalankan tadarus Al-Qur’an hingga menjelang waktu subuh. Sementara dia yang masih muda, segar bertenaga seakan terlalu lelap dengan tidurnya hingga jarang sekali bisa mengimbangi kebiasaan luar biasa yang dijalankan kakeknya itu.

“Hehehehe... Kamu ini bagaimana toh? Kakek lihat kalau kamu mau ke kantor rapinya bukan main. Ini ketika diajak sholat, menghadap Tuhan yang masih memberi kamu izin untuk menghirup nafas yang tak terbatas, kok mandi saja pakai ditunda? Dapatkah kamu bayangkan jika kamu tidak lagi diberikan izin untuk menghirup nafas? Bekal apa yang kau bawa untuk menghadap-Nya?”

Astaghfirullah. Selentingan yang dilontarkan kakek itu terdengar ringan dan disampaikan dalam nada candaan, tapi begitu bermakna dan mengena bagi Akhdan. Itulah yang disenangi Akhdan dari kakeknya, cara menegurnya indah, hingga bisa diterima dengan mudah.

“Ayo kek ke surau...” ajak Akhdan setelah mandi dan siap berangkat ke surau.

Dua makhluk Tuhan itu melangkahkan kaki meninggalkan rumah panggung mereka, rumah yang dibangun kakek ketika menikahi nenek dulu. Sayang nenek mendahului kakek menghadap Sang Kholik. Tinggallah kini kakek seorang diri yang setia mendiami rumah bertiang kayu dan berdinding papan yang masih terlihat kokoh berdiri, sekokoh kesetiaan kakek terhadap nenek, sekokoh hati kakek menjalankan ibadah kepada Sang Pencipta.

Mereka berjalan melalui jalan setapak berbeton diantara sawah hijau yang terhampar luas menuju surau yang terletak di pinggir sungai. Surau itu tampak tua dimakan usia, tapi tak pernah kalah gagah dibanding rumah kakek. Ya, kakek senantiasa menjaga surau itu sebagaimana layaknya dia menjaga rumhanya sendiri. Dengan sisa-sisa tenaga di usia senjanya, kakek senantiasa memperhatikan kondisi surau, mengganti papan lantai dan dinding surau yang lapuk, serta menyediakan penyangga bagi tiang-tiang yang mulai keropos.

Baginya, cinta kepada Sang Maha Penyayang adalah yang utama. Ketika dia tak sanggup mengerjakan perbaikan surau sendirian, dia akan mengupah tenaga-tenaga muda untuk menyelesaikannya. Semangat gotong royong yang dulu begitu dibanggakan bangsa ini telah musnah dimakan keegoisan anak manusia yang kini semakin mementingkan dirinya sendiri.
Perjalanan menuju surau terasa lambat. Maklum, kakek yang telah berusia 76 tahun itu kondisi fisiknya jelas tidak selincah mudanya dulu. Tubuhnya pun sudah mulai terlihat membungkuk. Kalaupun ada satu yang tak pernah berubah dari sosok kakek itu adalah semangat beribadahnya yang terus menyala, tak pernah berhasil dikalahkan usia.

Adzan dikumandangkan syahdu oleh Akhdan. Kata orang, suara adzan Akhdan mirip dengan suara adzan kakeknya. Tapi itu belum cukup untuk menandingi kedahsyatan adzan kakeknya yang konon sangat menyentuh, bahkan mampu membuat orang-orang yang mendengar meneteskan air mata. Tapi itu dulu, saat di kampung ini masih banyak orang yang hatinya bergetar mendengar panggilan Tuhan untuk menunaikan kewajiban rukun Islam kedua itu. Sekarang dunia berubah, kondisi kampung jauh berbeda.

Hanya tersisa kakek yang masih tanpa lelah menyeru kepada masyarakat, mengajak untuk menunaikan ibadah berjamaah. Sementara Akhdan tak selalu berada di rumah. Kewajiban melaksanakan tugas sebagai pegawai negeri sipil dan mahasiswa pascasarjana di ibukota kabupaten mengharuskan dia untuk sekali-kali mengistirahatkan diri dan menginap di kota yang dua jam perjalanan jauhnya dari kampung ini. Pernah dia memaksakan diri untuk pulang pergi setiap hari demi menemani kakeknya itu, tapi kemudian dia jatuh sakit dibuatnya.

“Sudahlah Kek, ayo kita sholat! Percuma kita menunggu mereka. Masyarakat kampung ini sudah terlanjur tuli dengan panggilan Tuhan. Bukankah di banyak waktu-waktu sholat yang lainpun mereka tak pernah mengindahkannya? Bukankah pada akhirnya tetap hanya kakek seorang diri saja yang akhirnya menegakkan tiang agama di surau ini? Mereka seolah tak lagi mau bersyukur dengan rezeki yang telah diturunkan Sang Maha Pemurah kepada mereka!” protes Akhdan melihat kakeknya yang masih saja menunggu seusai mereka menunaikan Sholat Sunnah Rawatib, Qobliyah subuh.

“Tunggulah barang sebentar. Barangkali masih ada masyarakat yang tergerak hatinya bergabung dengan kita untuk bersama-sama bersujud pada-Nya. Sayang jikalau nanti mereka ketinggalan.” balas kakek bijak, mencoba meredakan emosi yang sempat terucap dari mulut Akhdan.

Lima menit, sepuluh menit berlalu sejak adzan dilantangkan, tak ada jua satupun masyarakat yang datang ke surau untuk menjawab panggilan Tuhan. Kakek menyerah, “Mungkin mereka sholat di rumah,” kata kakek yang lebih berbentuk doa. “Ayo iqomat Dan!” titah kakek.


***

Sepulang dari surau Akdan masih menyempatkan diri membuat teh manis kesukaan kakeknya. Setelah itu dia langsung bersiap diri dan pamit kepada kakeknya untuk berangkat kerja.

Udara kampung yang masih sejuk memberi kesegaran yang berarti bagi Akhdan sebagai teman perjalanannya menuju kantor. Sesekali dia menjumpai monyet-monyet yang berlarian di pinggir jalan. Sementara mentari mulai menampakkan diri di ufuk timur, seolah memompakan senyum dan mengirimkan hangatnya semangat untuk menikmati hari. Sungguh suatu kondisi yang tak pernah ditemuinya ketika bermukim di Jakarta.

Bukanlah tanpa sebab Akhdan pernah mencicipi hidup di kota Megapolitan itu. Meskipun kata orang kota itu adalah kota impian dan harapan bagi banyak orang, tapi tak pernah terbersit sedikitpun dihatinya tentang keinginan untuk tinggal disana. Buktinya pada saat pelaksanakan seleksi penerimaan mahasiswa baru Akdan memilih perguruan tinggi yang berada kota lain. Tapi ketentuan Tuhan berkata lain. Selain diterima di salah satu perguruan tinggi di kota lain, nyatanya dia juga dinyatakan lulus seleksi ujian saringan masuk perguruan tinggi kedinasan (PTK) yang berlokasi di pinggiran Jakarta.

Sebagaimana layaknya kampus plat merah, PTK itu juga tak menarik bayaran dari mahasiswa, semua biaya ditanggung negara. Jaminan pekerjaan sebagai abdi negara yang akan diberikan bagi lulusan kampus yang dikelola salah satu kementerian negara itu yang pada akhirnya menyisihkan keinginan Akhdan untuk menjadi sarjana tekhnik. Jadilah ia memilih kampus keuangan negara itu. Dan takdir Tuhan selanjutnya pulalah yang memperpanjang masa waktu yang harus dinikmatinya di ibukota karena ia harus menjalankan ikatan dinas, bekerja sebagai abdi negara setelah menyelesaikan studi diploma tiganya.

Enam tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Akhdan untuk berada di Jakarta. Namun hal itu tak pernah secuilpun menyiutkan rasa rindu dan keinginan untuk pulang ke kampung halaman. Pindahlah ia dari kementerian yang terkenal sebagai pilot project reformasi birokrasi ke pemerintah kabupaten tempat dimana ia berasal. Tak sedikitpun sesal datang kepadanya karena meninggalkan remunerasi pendapatan pada kementerian yang sebelumnya ia peroleh.

“Aku tak hidup menyembah harta. Cukuplah dulu aku coba mengakali nasib untuk tidak menginginkan tinggal di Jakarta, tapi toh takdir Tuhan akhirnya tak dapat kuelakkan. Sama halnya dengan ini! Kita memang butuh harta, tapi toh harta bukanlah segala-galanya. Bukankah Allah SWT yang memegang kunci bagi setiap anugrah hamba-Nya. Maka cukuplah bagiku melakukan usaha yang aku bisa, lalu aku akan bersyukur atas nikmat yang aku terima dengan harapan agar semuanya mendatangkan keberkahan. Bukankah dengan bersyukur Allah SWT akan menambahkan nikmat-Nya?” begitulah jawaban bagi banyak pertanyaan orang atas perbedaan pendapatan antara instansi dimana ia bekerja sebelumnya dibanding pilihannya untuk pindah ke pemerintah kabupaten.

Tindakan Akhdan ketika itupun diamini oleh kakeknya. “Keinginan itu ibarat bisikan-bisikan yang belum tentu terucapkan. Sementara kenyataan seperti bicara, kata-kata yang keluar dari mulut. Apa yang pada akhirnya secara jelas kau dengar? Bisikankah atau pembicaraankah? Maka sudah sepatutnya lah kita mengkompromikan antara keinginan dengan kenyataan. Karena pembicaraan adalah dasar yang jelas kau saksikan sebagai bahan pertimbangan. Sementara bisikan seolah diselimuti tabir yang takkan pernah kau ketahui rahasianya.”


***

Akhdan semakin mempercepat laju mobil yang dikendarainya. Sesekali dia melirik jam yang terdapat di dashboard mobilnya. “Uh... Sudah hampir jam satu!” gumamnya sambil menambah tekanan pada pijakan gas. Jatah istirahat kerja siang ini memang dimanfaatkan Akhdan untuk menunaikan sholat Jum’at berjamaah dan menyantap makan siang di luar kantor. Sesampainya di kantor Akhdan segera memarkirkan mobil dan bergegas menuju ruangannya. “Ada apa ini?” tanyanya ketika mendapati ruangan kerjanya agak berantakan.

“Barusan ada gempa Dan. Memangnya kamu tidak merasakannya?” kata pegawai lain balik bertanya.

“Hm, mungkin saat itu aku sedang mengendarai mobil. Makanya aku tidak menyadari terjadinya gempa.” Jawab Akdan sambil merapikan ruangannya.


***

Waktu hampir menunjukkan pukul 15.00 sore ketika hujan deras datang dan disertai angin kencang menghujam bumi tanpa ampun. Sesekali cahaya kilat dan gemuruh tembakan petir menambahnya seramnya kondisi bumi. Akdan pun teringat akan kakeknya. “Semoga sungai dipinggir surau tidak meluap supaya kakek tetap bisa sholat di surau layaknya sholat subuh yang kami kerjakan tadi.” Doa Akhdan melihat kondisi cuaca yang sepertinya menandakan bahwa hujan akan turun lumayan lama.

Hujan berhenti tepat sebelum jam kerja yang berakhir pukul 16.00. Akhdan  hendak pulang untuk beristirahat dan menginap di rumah barunya, ruumah yang baru yang dibelinya sejak kepindahan kerjanya. Dua jam perjalanan tadi pagi masih menyisakan sedikit lelah dan jadwal kuliah pada keesokan hari adalah kondisi yang menyebabkan ia harus melumrahkan hari ini bukanlah jadwal pulang ke kampungnya. Biasanya dia akan pulang setelah selesai kuliah pada sabtu sore atau pada hari senin dan kamis untuk menemani kakeknya berbuka puasa.

Sesaat dia teringat dengan gempa dan hujan lebat disertai angin kencang dan petir yang terjadi hari ini. Akhdan pun kemudian berubah pikiran. Hasrat untuk memastikan kondisi kakek dan menemani beliau malam ini tak berhasil dibendungnya. Terlebih Akhdan tak memiliki pilihan lain untuk memastikan kondisi kakeknya selain pulang karena kampungnya tak terdapat jaringan telepon maupun seluler.

Alahkah terkejutnya Akhdan melihat rumah kakek dikerumuni banyak orang dari kejauhan. Berdesir darahnya dan berdetak kencang pula jantungnya. Tak sabaran ia memberhetikan mobilnya dan  setengah berlari menaiki tangga rumah. Yang ia dapati membuatnya terdiam yang kemudian menghasilkan tangis dan air mata tak tertahan. Betapa tidak, kakeknya kini terbujur kaku ditengah rumah, tak bernyawa. Sedihlah sudah yang dirasakan Akhdan. Air matanya menetes deras, meninggalkan segala kenangan dan nasehat bijak yang senantiasa mengingat dan menenangkan jiwa mudanya.

“Tadi, sesaat sebelum Ashar saya melihat beliau berjalan menembus hujan menuju surau. Yang saya sadari beberapa waktu kemudian adalah pohon durian tumbang dan roboh menimpa surau.” Kata salah seorang tetangga.

“Kami menemukannya dalam kondisi bersujud!” timpal yang lainnya.

Tak banyak yang dapat diserap Akdan dari penjelasan dan wejangan yang disampaikan orang-orang yang kini berada di sekelilingnya. Yang dia yakini mereka lebih banyak memberikan dorongan kepada Akhdan untuk bersabar. Tapi dirinya terlalu lemah menghadapi kejadian ini hingga ia menangis dan menumpahkan air mata kesedihan sejadinya. Rupanya gempa tadi siang melemahkan cengkraman akar durian di tanah, kemudian petir menumbangkan pohon dan angin yang berhembus kencang mengarahkan robohnya durian itu ke surau. Tertimpa pulalah kakek Akhdan yang sedang menunaikan sholat ashar disana. Itulah ujung dunia bagi lelaki terakhir yang istiqomah menjaga surau dan ibadahnya itu. Lelaki terakhir yang menjaga seruan-Nya untuk kampung ini.


***

Dua minggu lebih telah berlalu sejak wafatnya kakek Akhdan. Akhdan masih memandang pilu pada surau yang rusak parah itu dari jendela rumahnya. Terbayang-bayang olehnya kakek yang mengajari ia mengaji sedari kecil disela waktu maghrib dan isya. “Inilah kondisi kampung yang memegang slogan “Adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan Kitabullah”. Rupanya slogan indah tak sejalan dengan kenyataan kehidupan. Entah hukum agama dan kitab apa yang menjadi pedoman mereka dalam slogan itu. Buktinya mereka telah lama meninggalkan Tuhan dan membiarkan surau itu tetap dalam kondisi roboh, tek berniat memperbaikinya.” Jerit hati Akhdan.

“Astagfirullahal’adzim....” ucap Akdan seakan-akan tersadar. “Kenapa aku hanya menggerutu dan menjadi pengeritik tidak baikknya keadaan yang ada? Kenapa aku harus menunggu orang lain untuk berbuat? Kenapa bukan aku sendiri yang memulai untuk bertindak dan mengajak mereka untuk berbuat sesuatu yang baik? Alangkah rendah dan hinanya aku.” kecamuk hati Akhdan.

Akhdan lalu menyimpulkan senyum. Sesaat kemudian dia berkeliling kampung mengajak masyarakat membersihkan dan mendirikan kembali surau yang roboh. Hingga pada suatu malam, “Allahuakbar... Allahuakbar....” Adzan kembali berkumandang dari surau itu. Ya, Akhdan lah yang melafadzkan adzan, menyeru pada masyarakat untuk memenuhi panggilan Tuhan, menegakkan tiang agama, menunaikan rukun Islam yang kedua.


*Cerpen ini adalah satu dari 28 cerpen yang terbit dalam buku kumpulan cerpen SAPPORO, LeutikaPrio, Februari 2012

Rahasia Empat Hati - III


Ini adalah bagian ketiga dari plot bersambung yang ditulis oleh 4 orang berbeda.
Setiap plot adalah hak setiap penulis untuk mengkreasikan dan mengembangkan cerita menurut versinya masing-masing. Selamat menikmati. :)

=============================================================

Ini adalah hari ketujuh sejak Dessy memutuskan meninggalkan Indonesia. Tubuhnya bekerja keras menyesuaikan diri dengan cuaca yang rata-rata minus nol derajat celcius di Sapporo.

“Kau bisa menggigil Kedinginan, Des. Tante saja butuh waktu beberapa musim untuk terbiasa dengan musim dingin disini!” ingat tantenya ketika Dessy berkeras hati ingin segera pergi kala itu.

“Tidak apa-apa tante! Toh di tropisnya Indonesia aku juga merasakan beku... Hatiku yang beku!” ujarnya ketika itu, dalam hati.

Sekarang, ia sedikit menyesal dia tak mendengarkan tantenya, Maghdalena, untuk berangkat pada bulan Maret atau April saja, ketika Jepang memasuki musim semi.

Duh, Hafiz. Aku telah meninggalkanmu ribuan kilo meter. Mengapa kau masih betah bersemanyam dihatiku?? Aku pergi untuk melupakanmu, tapi sepertinya kau terlalu bergembira bermain dipikiranku.”

Memoar kebersamaan mereka saat liburan akhir tahun sebulan yang lalu hadir kembali hadir dalam bentuk yang sedemikian jelasnya bagi Dessy. Pun demikian dengan pelukan tiba-tiba ketika ia hendak meninggalkan Jakarta. Hampir saja pelukan itu mengubah keinginannya untuk pergi. Tapi ia tahu, tak ada cinta di pelukan itu. Dia tahu Hafiz mencintai Allin, bukan dirinya.

Air matanya menetes. Sementara di luar sana salju terus turun dengan lembutnya.


***
“Kamu besok gak kemana-mana kan, Sayang!” tanya Kindi melalui telepon.

“Iya, Sayang. Gak kemana-mana, kokEmang kamu mau ngajak aku kemana, sayang?” jawab perempuan di seberang sana.

“Kasih tahu gak ya?? Hahahahaha...”

Ih, kamu nyebelin deh!!”


***
Hafiz masih memeriksa email, facebook, twitter, dan apapun yang biasa digunakan sebagai sarana komunikasi. Diperiksanya lagi dan lagi. Namun raut wajah menunjukkan bahwa ia tak menemukan apa yang ia cari, nihil. Tampak ada sesuatu yang hilang dengan tiadanya kabar dari Dessy hari ini. Hingga akhirnya dia tersenyum sendiri sambil meraih hp, seolah menemukan solusi untuk menhubungi Dessy.

“Hei, bangun.. Subuhan tuh!” kelakar Hafiz seusai mengucap salam begitu yang di seberang sana mengangkat panggilan darinya.

“Bukannya disana dini hari, Mas?? Bukankah seharusnya kamu tidur??” Ujar Dessy setelah melihat jam yang menunjukkan pukul 5 pagi, yang berarti pukul 3 dini hari waktu jakarta.

“Heh, emm... Aku juga baru kebangun nih!” elak Hafiz tergagap. “3 hari lagi ada Sapporo Yuki Matsuri ya??Pengen deh kesana. Pengen lihat seperti apa sih festival salju terbesar di Jepang itu!” sambungnya mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Serius kamu mau kesini?” kejar Dessy yang tiba-tiba menjadi begitu bersemangat. “Ayo kesini. Festivalnya tanggal 5 – 11 Februari. Ntar kita keliling dari Taman Odori, Susukino, dan Sapporo Satoland!” terang Dessy bergairah, seakan tak merasakan dinginnya suasana Sapporo sepagi ini.

“Hahaha... Kenapa gak Sapporo Sutoland aja, Des? Biar nyamain nama anak tante Lenamu itu.” Lelucon Hafiz, merujuk ke Nama Suto Nakamura, sepupu Dessy, anak pertama pasangan Maghdalena Azhar dengan Saujiro Nakamura. “Aku pengen kesana, Des! Aku rindu kamu..” Hafiz kebablasan bicara.

“Aku juga merindukanmu, Mas! Sangat rindu.” Bisik Dessy dalam hati begitu Hafiz mengakhiri pembicaraan. Dessy menunggu Hafiz menepati janji untuk mengunjunginya, mengunjungi Sapporo Yuki Matsuri, 3 hari lagi.


***
Kamu dimana, Sayang?

Sebuah sms masuk ke hp Allin.

Aku di kosan, Bang.

Allin membalas singkat, sedikit berbohong. Tak mungkin memberitahu bahwa ia di Taman Suropati. Bisa-bisa jadi panjang urusannya. Toh, palingan smsnya juga cuma buat nanya doank. Bukankah Hafiz orangnya cuek? Buktinya tak banyak kebersamaan yang ia rasakan selama 2,5 bulan hubungan mereka. Tak seperti Kindi yang gemar memberinya kejutan dan hal-hal romantis lainnya.

“Dari siapa, Lin?” tanya Kindi.

“Bang Hafiz, Mas!” jawabnya sambil menghembuskan nafas panjang.

“Kapan kita akan berterus terang kepadanya, Lin?”

“Aku tak tahu, Mas!”

Dua manusia itu terdiam. Gesekan biola yang dimainkan komunitas di Minggu pagi itu terasa menyayat hati.


***
Hafiz melongokkan kepalanya kesana kemari mencari keberadaan Allin. Sebenarnya ia sedikit gusar karena dibohongi Allin. Untung teman sekosan Allin, Maria memberikan petunjuk kalau Allin katanya hendak pergi ke Taman Suropati.

Pandangan mata Hafiz menemukan Allin. Tapi yang ia lihat memuncakkan rasa kesal dari kebohongan tadi. Allin sedang bermesraan dengan seseorang yang ia kenal pula. Dengan emosi yang meninggi ia mendatangi Allin!

“Pengkhianat!! Kalian bermain di belakangku...” teriak Hafiz dengan nada marah selangit. Tak hanya Allin dan Kindi yang dibuat terkejut, tetapi hampir seluruh taman ikut terkejut. Bertanya-tanya ada apa gerangan!

“Bang, dengar dulu penjelasanku” Allin memohon cemas.

“Tak ada yang perlu dijelaskan! Cukup mata kepalaku sendiri yang menjadi saksi kebusukan kalian” suaraya bergetar. Burung-burung merpati terdiam. Gesekan biola terhenti. Lenggak-lenggok dan cerocos komunitas hijabers tak terdengar lagi. Seolah semua mata tertuju pada kehebohan yang tak disangka pada pagi yang tenang itu.

“Hafiz, plis...” ujar Kindi.

“Cukup!! Dan kau Kindi, yang sudah aku anggap sebagai saudaraku sendiri, ternyata tak lebih dari duri dalam daging. Tak sudi lagi aku menggapmu Saudara! Menjadi temanpun tak pantas.” Hafiz membawa amarahnya pergi, meninggalkan tempat yang menghadirkan luka di hatinya.


***
“Apa yang membawamu kemari, Nak?” sapa sesosok tua.

“Apalagi, Kek. Selain golden sunrise Dieng yang mempesona ini?” jawab Hafiz sekenanya, sambil mengarahkan kembali pandanganya menuju timur.

“Tak baik selalu berbohong, Nak! Aku melihat keresahan dalam tatapanmu..” lanjut orang tua itu.

Degh! Hafiz tertohok. Sekali lagi ia memperhatikan kakek itu. “Bukan urusanmu, Kek!” katanya ketus.

“Hahaha... Inilah bagian yang paling aku suka dari anak muda, selalu mengedepankan emosi dalam menghadapi berbagai hal. Bagus, Nak! Pertahankan, agar kau seperti kebanyakan orang yang menemui banyak kegagalan hanya karena tak berhasil menguasai emosinya sendiri.” Petuah sang Kakek yang bernama Jie Wahyu itu sambil berlalu dan terus tertawa.

Sinting. Ucap Hafiz dalam hati. Mugkin bagi Hafiz si Kakek sama sintingnya dengan Allin dan Kindi yang benar-benar menghujamkan kepedihan bagi bathinnya. Mungkin sama pula dengan sintingnya Dessy yang tiba-tiba berangkat ke Jepang tanpa alasan yang jelas.

“Semuany sinting!!!” suara Hafiz menggelegar tanpa sadar, menuruni lembah Bukit Sikunir, merambat melalui gumpalan awan, menuju matahari yang tampak masih malu-malu di antara deretan gunung Sindoro, Merbabu, Merapi dan Sumbing. Sejenak kemudian dia tertunduk, dia merasa benar-benar sendiri, bermain dengan pikirannya sendiri. Tak banyak yang ia pedulikan. Yang jelas kekecewaan kemarin membuatnya ingin menyendiri. Satu-satunya yang ia tuju adalah Dieng, tempat yang selama ini selalu tertunda untuk ia datangi. Sementara ia telah berjanji kepada Dessy untuk menikmati Sapporo Yuki Matsuribersama, 2 hari lagi.

=============================================================

Mau tau versi yang lebih lengkap?? Baca aja:
Rahasia Empat Hati - I  : http://sutonosuto.blogspot.com/2012/11/cerpen-temen.html
Rahasia Empat Hati - II : http://sutonosuto.blogspot.com/2012/11/cerpen-teman.html