01 Maret 2012

Mahar Cinta di Negeri Para Syuhada

“Tuhan, maafkan aku!! Aku ingin pulang...” bisikku sesegukan.

Betapa tidak, bom curah yang disusul misil dan hujan peluru ditumpahkan zionis ke tanah Gaza. Aku merasa bahwa aku tak seharusnya disini. Faiza, ya hanya demi dia aku disini, muslimah yang telah menyentuh imanku.


*** 
Tiga bulan yang lalu.

“Bagaimana ustadz, apakah Faiza menerima pinanganku??” tanyaku penuh harap.

“Dengan satu syarat Yad, kau harus menunjukkan kepedulianmu kepada agama kita... Itu mahar yang dia minta!!” terang sang murobbi.

“Kenapa tadz?? Apakah dia meragukan kesungguhanku??” lanjutku sedikit kecewa.


***
Sepekan waktu yang kuhabiskan untuk merenungi permintaan Faiza. Aku sempat hendak menyerah karena tak tau apa yang harus aku lakukan demi mahar itu. Hingga pada suatu subuh, setelah melaksanakan qiyamul lail, aku melihat berita di televisi bahwa akan ada pengiriman relawan medis ke Gaza, Palestina.


***
“Kau yakin Yad??” tanya sang murobbi saat aku meminta pendapat tentang rencanaku keesokan harinya.

“Insya Allah yakin Tadz!!” jawabku.

“Faiza wanita yang mulia. Dia berhak mendapatkan mahar itu!!” pungkasku meski sedikit ragu.


***
Tanpa terasa tiga pekan sudah waktu yang kunikmati di Gaza.

“Kau tak seharusnya melakukan itu... Disana berbahaya!!” begitulah kata Faiza yang disampaikannya melalui Ustadz Azmil setelah mengetahui keberadaanku di Gaza.

“Tolong sampaikan kepada Faiza Tadz, Gaza tak semanakutkan seperti yang kita bayangkan selama ini!! Apalagi sekarang sedang dalam perjanjian gencatan senjata..” balasku senang.

“Berarti Faiza peduli padaku...” bisik hatiku tersenyum puas.

Aku benar-benar menikmati waktuku disini. Hamas yang selama ini digambarkan ganas oleh zionis ternyata ramah, terlebih kepada relawan Indonesia.

“Indonesia telah membantu perjuangan kami. Setidaknya telah membantu sisi kesehatan kami!! Rumah sakit dan persediaan obat-obatan kami yang luluh lantak kini tergantikan oleh kehadiran kalian. Kami yakin, banyak saudara muslim kami di Indonesia yang ikut mendoakan kami!! Karena disini kami tak hanya memperjuangkan kemerdekan, tapi lebih dari itu kami memperjuangkan Islam, agama kita! Nahnu Ikhwan (kita semua saudara).” Demikian sedikit penjelasan yang aku terima dari Zufar saat aku mengobati kakinya yang terluka.


***
Malam ini adalah yang kedua kalinya aku diundang untuk menikmati hidangan makan malam di rumah Zufar. Makan malam yang tadinya penuh kehangatan mendadak riuh oleh bunyi ledakan yang bersahutan.

“Zionis menyerang!!” teriak Mursil tergopoh-gopoh kepada Zufar.

“Siagakan pasukan... Lindungi para wanita dan anak-anak!!” titah Zufar.

“Gunakan ini saat kau butuh!!” kata Zufar sambil menyerahkan sebuah senapan laras panjang dengan mesin peluru otomatis.

“Duuuuaaaarrrr!!!!” sebuah misil zionis menghantam tepat ke bagian depan rumah. Zulfar yang baru hendak melangkah keluar rumah terpental.

Aku meringkuk ringkih, diam tak bergerak dari posisiku. Tubuhku menggigil, yang nyatanya keluar hanya air mata ketakutan.

“Tuhan, maafkan aku!! Aku ingin pulang...” bisikku sesegukan.

“Ayo, kita tidak aman disini!!” teriak Zufar diantara bunyi desingan peluru yang datang membabi buta. Tak tampak raut trauma dari wajahnya dari kejadian sesaat yang lalu.

Mursil dan aku kemudian membantu Zufar berdiri dan berlari untuk bergabung dengan para pejuang lain di perbatasan Gaza. Inilah fakta yang selama ini tidak aku ketahui, ternyata Zufar adalah salah satu pimpinan pejuang Hamas. Luka yang siang itu diobatinya kepadaku pun ternyata luka karena terkena sabetan peluru. “Disini tak ada yang namanya benar-benar gencatan senjata. Kami harus tetap terjaga dan bergeriliya karena mereka (zionis) bisa menyerang sewaktu-waktu” katanya.


=====
“A blinding flash of white light,
lit up the sky over gaza tonight.
People running for cover,
not knowing wheter they’re dead or alive

They came with their tanks and their planes,
with ravanging fiery flames.
And nothing remains,
just a voice rising up in the smoky haze

We will not go down,
in the night, without a fight.
You can burn up our mosques and our homes and our schools,
but our spirit will never die.
We will not go down,
in Gaza tonight.”
=====


Lagu "We Will Not Go Down" kini menggema di dadaku. Inilah rupanya yang perjuangan yang dilantunkan oleh Michael Heart itu. Semangat yang seolah kini meresap ke tubuh, mengalir dalam nadi ke setiap persendian.

“Rachel Corrie pun mengorbankan dirinya untuk Gaza!!” gemuruh darahku.

Yang aku sadari kemudian adalah aku tak peduli lagi statusku sebagai relawan. Jual beli serangan terus menggema selama beberapa jam. Aku seakan larut dalam perjuangan!! Yang aku ingat namaku Ayyad, yang berarti dapat menguatkan atau kokoh. Dan senapan yang kupegang ini telah memuntahkan banyak pelurunya ke arah zionis.


***
Pertempuran mereda. Pasukan zionis mundur. Teriak kegembiraan dan rintih kesakitan para pejuang yang terkena tembakan musuh bercampur menjadi satu.

“Yad, Zufar terluka!!” teriak Mursil seolah mengembalikan kesadaranku.

“Yad, nikahi ‘akifah, istriku... Jagalah anak-anakku” pinta Zufar terbata-bata setelah aku datang menghampiri dan memangku erat badannya yang makin lemah, bersimbah darah.

“Tapi...”

“Syukron...” itulah kata-kata terakhir Zufar. Belum sempat aku membela diri atas permintaannya, dia telah menghembuskan nafas terakhir.

“Innalillahi wainnailaihiroji’un...” ucap kami yang disitu. Sebagian pejuang kemudian mengangkat dan membawa tubuh Zufar sambil melafadzkan takbir,”Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar...” Sebagian lainnya membopong korban luka lainnya.

Tinggallah aku disini sendiri, termenung bingung.

“ Faiza, aku kesini untuk menunaikan maharku atas halalnya dirimu... Tapi bagaimana dengan wasiat Saudaraku Zufar?? Apakah harus aku abaikan??” tangisku pecah di sela debu dan asap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar