22 September 2011

Mah, Aku Rindu,,,

“Mah, aku rindu!”
“Bagaimana bisa?? Bukankah kita sering bertemu??”
“Tapi aku rindu..”

Aku merasa malu padamu. Kau begitu kerap menyapaku! Bahkan ketika aku tak mengindahkanmu kau tetap hadir dengan senyum merekah menyentuh keangkuhanku. Padahal, aku dan kau seharusnya berdampingan. Aku yang membutuhkanmu, bukan sebaliknya!

“Mah, maafkan kesombonganku!”
“Apa yang perlu dimaafkan?? Aku merasa kau tak punya salah kepadaku!!”
“Tapi aku merasa salah Mah, aku lemah..”

Aku tak ingin meneruskan kata-kataku. Aku tak ingin tampak lebih lemah di depanmu. Padahal, kau terus berusaha menguatkanku.

Entahlah Mah! Kekecewaan demi kekecewaan menghinggapiku. Andai kau tau bagaimana rasanya menginginkan orang yang tak menginginkanmu. Andai kau tau bagaimana rasanya terlibat dalam permainan birokrasi abal-abal yang bertentangan dengan nuranimu. Andai kau tau bagaimana rasanya tertinggal jauh dari masa depan yang bisa kau raih. Dan kenyataan terakhir lebih menyakitkan, keretakan yang selama ini masih tampak samar di permukaan ternyata dibangun dari pondasi yang hancur lebur dan tiang yang rapuh. Rusak semua Mah!

Ah, aku malu Mah! Aku lemah. Aku tau kau pasti tau semua keluh kesah meski tak pernah kuutarakan. Tak kusangsikan itu! Buktinya kau tak pernah berhenti mengajakku bangkit, mengingatkan aku akan segala keterjadian ini dengan caramu yang anggun. Harusnya kusambut uluran tanganmu, mengenggam erat tali cintamu, karena kau paling setia!

“Mah, aku rindu!”
“Aku tau! Apakah selama ini aku pernah berpaling darimu??”
“Tidak Mah. Kau paling setia..”

Akulah yang durjana! Berpaling muka ketika kau ada, tak mengacuhkan ketika kau hadir, bahkan melarikan diri ketika kau menghampiri. Tapi kau tak pernah menyerah, tetap peduli meski kadang tak kuhendaki.

“Mah, aku terlambat menyadari artimu!”
“Tak ada kata terlambat! Kalaupun terlambat itu lebih hebat daripada tidak sama sekali..”

Bisikanmu menambah deras kuncuran air mataku. Kau begitu mulia! Tuhan menghadirkanmu dengan bentuk yang sempurna, aku yang alpa. Ah, ingin aku mengenang setiap hal dari usahamu menjumpaiku, tapi usahaku itu tak membuahkan hasil. Setiap kali aku berusaha keras mengingat, kepalaku malah semakin sakit.

Memang sejak mengidap penyakit yang sampai saat ini belum berhasil didiagnosa para dokter, daya pikirku tak lagi secemerlang yang aku banggakan dulu. Dalam tatapan kabur bola mata yang dibanjiri tangis aku masih bisa melihat diriku dalam bentang cermin yang terpampang luas di ruangan rumah sakit ini. Tubuh terbaring lemah, kurus tinggal daging pembalut tulang, kabel-kabel dan selang-selang “keselamatan” berseliweran, sungguh keadaan yang tak menyenangkan tuk dipandang.

“Mah, hikmah, aku rindu. Kau pemberi makna yang sering kulupa. Maafkan aku yang sering tak mengindahkanmu! Maafkan aku yang terlambat menyadari arti hadirmu!”
“Tak perlu kau meminta maaf padaku! Minta maaflah pada Tuhanmu. Dialah yang telah mengirimku kepadamu. Dialah yang selama ini kau lupakan!”

Detak jantungku mengencang, napasku sesak, bunyi mesin-mesin penopang hidup disekeliling ranjangku bersahutan, tubuhku terguncang-guncang. Terakhir yang kulihat dokter dan perawat sibuk menggunakan segala macam untuk menyelamatkan nyawaku, sementara di balik pintu berurai erangan tangisan kaum kerabat yang tak lagi dapat kudengar.

“Mah, aku pergi. Tuhan, maafkan aku..”

Pandanganku semakin buram, kemudian kelam.

1 komentar: