22 September 2011

Sebuah Perjalanan : Balek ke Sungai Manau

Tahun 2002...

Detak jantungku masih saja tak karuan. Seakan gemuruh yang berdentum di dadaku itu semakin berpacu mengacaukan setiap helaan nafas yang kucoba mengaturnya serileks mungkin tapi tak pernah berhasil. Denyut nadi yang mengaliri darah ke seluruh tubuh pun terasa tak menentu lagi. Hipoksia sepertinya mulai menyergap otakku. Padahal kadar hemoglobinku normal dan aku tak mengidap anemia. Aku tak sedang pingsan, tak pula berada pada lingkungan yang kadar oksigennya tipis.

“Oh, Tuhan... Aku seperti pesakitan di laju bus ekonomi ini!!”

Bukan, bukan kondisi bus yang membuat detak jantung, denyut nadi, dan suplai oksigen ke otakku menjadi tak normal. Aku tak pernah bermasalah menaiki kendaraan ekonomi meskipun kadang sungguh akan terasa nyaman sekali ketika menaiki mobil travel yang terkesan lebih eksekutif. Entahlah, kali ini aku lebih memilih menaiki bus berwarna kuning ini untuk pulang ke kampung halamanku, Sungai Manau. Aku hanya ingin merasakan kesederhaan.

“Huuuuhhh... Apa yang akan aku katakan kepada mereka??”

Bukan, bukan karena kekalahan di final bola basket antarkelas tadi yang menjadi bebanku. Bukan itu, meskipun kekalahan kelas kami tadi diwarnai tindakan tak sportif dari tim lawan. Sama sekali bukan itu. Dalam sebuah kompetisi menang dan kalah adalah sebuah keniscayaan baik bisa kita terima atau tidak. Yang jelas hari ini tak ada yang berjalan baik bagiku. Untuk pertama kali dalam 12 tahun aku menuntut ilmu di pendidikan formal, aku tersisih dari peringkat 10 besar. Sungguh tak menyenangkan dan menyesakkan dada! Tapi apa lacur, ibarat nasi kini telah menjadi bubur.  Hampir dipastikan tak dapat lagi kita mengulangnya ke belakang,  tetapi masih bisa kita perjuangkan perubahannya tuk masa yang akan datang.  Mungkin karena selalu berada di jajaran atas kadang kita terlupa bahwa roda itu berputar sehingga kita tak siap ketika kita terjatuh.  Mungkin ini hanya sebuah peringatan agar terus berjuang dan mau belajar menapaki setiap bagian kehidupan.

= * =

“Bangkunyo kosong dek??”, sapa seorang penumpang yang baru saja naik di Muara Bulian.
“Iyo bang...”, jawabku pendek.

Bus lalu melanjutkan perjalanan. Memang sejak dari kota Jambi tadi bus ini telah menaiki beberapa penumpang di jalan. Entah tindakan ini dibenarkan atau tidak aku tak peduli karena aku sedang tak ingin berfikir banyak. Berfikir tentang keadaanku saat ini saja sudah sangat menyiksa. Aku tak ingin pribahasa “Arang habis besi binasa, tukang puput payah saja”  hinggap di riwayat hidupku. “Emak, bapak, maafkan aku”.

“Balek kemano dek??”, tanya penumpang itu.
“Sungai Manau bang...”
“Ow, Sungai Manau... Sedang musim duren dan duku tu! Hehehehe...”
“iyo bang...”
“Abang ado tu kenal dengan kontraktor Sungai Manau, pelitnyo minta ampun...”
“Ngapo gitu bang??”
“Iyo... Dio tu lagi ngerjoin proyek di dusun abang! Jadi, abang cubo la cari kesalahan dio biak abang dapat bagian. Abang ni kan LSM dan wartawan... Biasonyo kontraktor tu takut samo kami-kami ni! Takut ketauan kalo proyek yang dikerjoinyo tu dak benar...”
“Terus??”
“Nah, itu dio permasalahannyo... Abang dak ketemu kesalahan bapak tu dimano! Padahal bupati be takut samo kami. Baru be duo minggu yang lalu kami pura-pura ngancam nak demo bupati, langsung la abang dan kawan-kawan dipanggil ke rumah bupati terus dikasih duit tutup mulut... Kalo kau nak gabung dengan abang payo la, lumayan buat nambahin jajan kau! Hahahahaha...”
“Terus dengan bapak tadi kayak mano la ceritonyo??”
“Ow, bapak tu baek hati jugo ternyato... Walaupun abang dak ketemu salahnyo dimano tapi abang dan duo orang kawan abang diajaknyo makan...”
“Ow... Emang namo bapak tu sapo bang??”
“Mr. X,,,,”

Gemuruh di dada yang tadi sempat terlupa karena teralihkan oleh obrolan dengan pria itu, kini kembali bergejolak. Bahkan gejolak kali ini melebihi gerumtum jeram Sungai Merangin yang terkenal buas, bahkan bagi para atlet Rafting nasional sekalipun yang pernah berlomba di sungai ini mengakui bahwa tingkat kesulitan tuk menaklukkan jeram Sungai Merangin tergolong tinggi. Aku mengepalkan kepalan tinju dan setiap sendi di tubuhku menegang. Gemeretak geraham menunjukkan aku berada dalam emosi tingkat tinggi! Betapa tidak, kontraktor yang coba diperasnya itu adalah bapakku. Ya, bapakku yang selama ini telah bekerja keras menafkahi keluarga kami, menghidupkan anak-anaknya. Aku menengadahkan pandanganku ke langit, meminta persetujuan. Otot-otot ditubuhku mengeras, siap menghantam orang yang telah mencoba mengusik keluargaku. Bagiku keluarga adalah yang utama. Siapapun yang mengusik keluargaku, berarti dia berhadapan denganku.

Yang terjadi selanjutnya sungguh luar biasa. Aku melihat kumpulan awan seolah-olah membentuk wajah emak bapakku. Bersama desiran angin aku mengingat pesan mereka,”Tak ada balasan yang lebih baik untuk orang-orang yang mungkin berbuat tak baik kepada kita selain memperlakukan mereka jauh lebih baik.  Sesungguhnya cara seperti itu lebih mulia.  Amarah hanya tumpangan syaitan yang takkan pernah memberikan solusi terbaik.  Justru hanya akan menenggelamkan kita jauh lebih terpuruk dalam permasalahan itu.  Redakan emosimu nak,  kelolalah ia dengan baik agar tak menjadi bumerang bagi kita.  Emosi adalah bara api yang jika tak bisa kau kuasai dengan baik dia malah akan membakar tanganmu sendiri.  Tersenyumlah,  karena kau pemilik senyum yang manis”.

Akupun lalu mengurungkan niatku. Syaitan pun tertunduk lesu dan berkata,”Ah, cemen!! gak asyik lo coy,,,”

“Nama abang siapo bang??”, tanyaku merangkai obrolan yang tadi sempat vakum.
“Andi... Tapi biasonyo orang-orang mangggil abang “Buyung Palalo”

Setidaknya aku sudah tau namanya. Nanti sesampainya di rumah akan aku coba konfirmasi dengan bapakku mengenai permasalahan ini. Siapa tau dia hanya seorang pembual, perangkai cerita handal tapi tak ada apa-apanya. Jika dikonfirmasikan dari dua atau lebih sumber, mungkin informasi bisa kita cerna mengenai validitasnya.

= * =

Tulisan ini hanyalah fiktif belaka!! Jika terdapat kesamaan nama, gelar, tempat, dan berbagai hal lainnya merupakan kebetulan yang (tak) disengaja. Hidup telah mengajarkan kita banyak hal, tetapi hanya sebagian (kecil) dari kita yang mau dan mampu menangkap hikmah dan pelajaran darinya. Salam persaudaraan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar